Rabu, 12 September 2012

GROWONG

Di balik kelopak kutahan airmata yang berdesakan ingin meluncur. “Jaga diri sayang ya,”kataku sambil mendaratkan bibir di dahi dan kedua pipi Fariz, anak sulungku. Anakku yang pemalu itu, biasanya menolak kucium di tempat umum, kali ini tidak. Begitu banyak orang. Para ikhwan yang tengah berkerumun dimasjid usai berjama’ah dhuhur, ibu-ibu para calon siswa yang sedang mengantri pembagian seragam baru di ruang tata usaha, menyaksikan ini. Aku seperti melihat mereka semua memahamiku. Bahwa yang kurasakan saat mencium anakku adalah kepedihan. Ciuman ini adalah ciuman perpisahan. Tapi aku tak boleh nangis, tak boleh! Tekadku sambil menyeret dua kakiku yang mendadak seberat beton. Di tempat parkir sudah menunggu suami dan anak-anakku yang lain. Dua adik Fariz yakni Fina dan Fadil, terlihat asyik menikmati minuman dingin kesukaan mereka. Hemh, kalau saja Fariz ikut, dia yang lebih dulu mengambil jatah minuman yang juga favoritnya itu. Setelah menghadiri acara perkenalan siswa dan santri baru ini rencananya kami langsung ke rumah nenek dan kakeknya anak-anak. Berlibur, munggahan sebelum Ramadan tiba beberapa hari lagi. Kali ini tanpa Fariz, aku tak percaya. Putra sulungku itu tak ikut serta. Kami harus meninggalkannya di pesantren. “Udahlah aku ga usah ikut Mi,” Fariz meyakinkanku. Kali ini aku gagal membaca perasaan tersembunyi dibalik kata-katanya itu. Mengingat selama ini liburan ke rumah kakek nenek adalah saat yang sangat ditunggu-tunggunya. Karena di sana dia bisa berlarian bahkan bermain sepeda keliling pekarangan yang luas, mancing ikan di kolam milik keluarga di belakang rumah, memberi makan ayam, memetik buah-buahan di kebun, ikut kakeknya ke sawah dan lain-lain kegiatan yang semuanya membuat anak-anakku bersemangat dan betah. Makanya meski baru beberapa hari di pesantren, aku mencoba meminta pada bagian kesantrian untuk mengijinkaku membawanya serta. Dan seperti yang aku duga, mereka keberatan. Itukah yang jadi alasan anakku mengatakan hal seperti tadi? Mungkin dia tak mau mendengar aku terus merengek seperti orang yang tak tau aturan. Mobil meluncur membelah terik kemarau meninggalkan berlembar kenangan manis bersama Fariz sebelum ia pergi meninggalkan rumah kecil kami. Lembar pertama bahkan dimulai sesaat setelah anak itu hadir ke dunia. Kelahirannya benar-benar membuat rumah type 21 yang masih asli alias belum direnovasi itu berubah menjadi istana. Bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Semakin hari bertambah umurnya semakin indah istana kami. Aku dibuatnya selalu tersenyum dan reflek menyebut Asma Allah, begitu terjaga dari tidur dan menyadari tubuh kecilnya ada disampingku. Subhanallah. Dan setiap kali mulut mungilnya melekat lembut diputing susuku lalu dengan lahap menghisap limpahan karunia Allah itu, kedamaian merambahi setiap titik syaraf di tubuhku. Kebahagiaan yang tak terlukiskan, inikah cinta? Aku merasakan keindahan yang selama ini belum pernah kurasakan. Subhanallah, inilah anakku, inilah aku, aku seorang ibu! Waktu melesat cepat. Kuamati anakku tumbuh, dari mulai tengkurap, merangkak berjalan,… memanggilku, bertambah senyum dan bahagiaku. Adakalanya ia sakit, dan aku sangat ketakutan. Setakut ketika aku berada di tempat yang sangat gelap. Takut dia meninggal, takut kehilangan. Kesadaran berserah pada kehendak Allah, tapi kuakui aku kehilangan senyum. Waktupun berubah menjadi lamban. Aku sadari kini, betapa ia sangat berarti. Sedikit flash back ke masa kecilku di kampung. Begitu sering kudengar para ibu tetanggaku berucap “Dadi anak kudu bisa nyenengake atine wong tuwa. Cilik diopeni wong tuwa, yen wis gede yo kudu gelem ngopeni wong tuwa. Kudu bisa mikul dhuwur mendhem jero.” (jadi anak harus bisa membahagiakan hati orangtua, waktu kecil dirawat orangtua, kalau sudah besar harus mau merawat orangtua. Harus bisa mengangkat derajat orangtua dan membelanya.) begitu kurang lebih arti harfiahnya. Kini aku berfikir betapa para orangtua itu bernasib malang. Tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti yang aku rasakan kini setelah menjadi orangtua. Itukah sebabnya mengapa mereka sering mengabaikan hak-hak anak, memperlakukan mereka dengan kasar. Disuruh ini, disuruh itu dan kalau membantah dipukuli, dijewer, dicubit atau diseret paksa dari tempat mereka bermain. “Mau jadi apa kamu, kerjanya main melulu!” atau “Pulang! Pulang! Orangtua repot kok kamu enak-enakan main di sini,…” itulah pemandangan yang aku saksikan sehari hari, itulah yang dialami teman-temanku semasa kanak-kanak. Karena mereka tak berhasil membuat orangtua mereka bahagia? Maka saat berikutnya akupun mendapati teman-teman sepermainanku itu satu-persatu meninggalkanku, selepas SD. Beberapa bahkan belum lulus. Drop out di kelas tiga atau empat. “Buat apa lama-lama sekolah, sekolah kan biar bisa membaca dan menulis. Mereka sekarang sudah bisa baca, mau apa lagi. Yang penting mereka sudah bisa bikin surat, dan tidak nyasar di Jakarta nanti. Katanya kan di Jakarta banyak plang. Kalau udah bisa baca ndak masalah.” Begitu kata mereka. Mereka disuruh merantau dengan dititipkan ke tetangga atau orang orang dewasa yang biasa merantau. Daerah tujuan terbesar sudah tentu ibukota, Jakarta. Rata-rata mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Dan sejak saat itu kedua orangtua mereka tinggal menghitung hari, menunggu hasil jerih anak mereka dikirim tiap bulan ke rumah. Dan perlahan tapi pasti berubahlah taraf hidup mereka, karena anak-anak mereka. Tanpa peduli apa yang dialami oleh anak-anak mereka di rumah majikannya atau seperti apa orang yang membawa mereka merantau. Apakah dia orang baik, amanah atau sebaliknya oportunis. Maka beberapa kejadian pun aku saksikan setelah itu. Ada teman-temanku yang sukses mengumpulkan pundi-pundi uang untuk orangtua mereka. Pulang kampung dengan pakaian yang indah-indah dan pita-pita cantik menghias rambut. Seperti anak-anak yang sedang berulangtahun di film-film. Terbersit rasa iri di hatiku, aku ingin seperti mereka. “Oh ojo ketema ketemu, kowe ora usah iri. Kowe ora ngerti kan Rum, konco- koncomu didol ning Jakarta. Dadi lonthe, akeh saksine.”(oh, amit-amit, kamu ga usah iri. Kamu ga tau kan Rum, teman-temanmu itu dijual di Jakarta. Jadi pelacur, banyak yang menyaksikan.”) begitu almarhumah Emak bilang. Peng!! Telingaku pekak mendadak. Nyaliku langsung seciut kuku, naudzubillah,… Padahal umur mereka belum lagi genap duabelas saat mereka meninggalkan rumah, untuk dipekerjakan sebagai pelacur?. Aku berhenti di lembaran ini. Anakku Fariz beberapa bulan lalu juga baru saja berulangtahun ke duabelas. Dan sekarang dia juga meninggalkan rumah. Sama seperti teman-temanku dulu. Yang membedakan mereka hanyalah untuk tujuan apa mereka meninggalkan rumah. Fariz baru saja duabelas tahun. Dan aku ingat, di ulangtahun keduabelas itu kebetulan kami sedang pailit. Anak itu tak minta apa-apa, tapi aku tahu betul dia menginginkan jaket baru karena jaket lamanya risletingnya sudah dol. Dia memang anak terbaik yang selalu memahami keadaan orangtua tanpa harus diminta. Dan aku tak tega melihatnya menahan keinginan. Maka dengan uang belanja yang sebenarnya masih aku butuhkan aku nekad ke pasar membelikannya jaket. Anak itu menerima jaket pemberianku dengan mata berkaca-kaca. Kucium dan kubenamkan wajah melankolis itu ke dadaku agar dia tahu dibalik dada itu hatiku rontok meruntuh. Haru berbaur bangga telah melahirkan anak sebaik dia. Bersyukur diberi kesempatan mengurusnya sampai saat ini, saat usianya menjelang remaja,…oh aku berharap mengetahui saat dia baligh sehingga aku sendiri yang akan membekalinya ilmu untuk menghadapi masa balighnya sesuai syariah. ‘Ya Allah, sekarang dia telah pergi,…’sudut hatiku kini kosong, sudut mataku kini basah. “Asyik, bentar lagi Aa ke SMP,…” dari balik jendela kulihat kepala Fina timbul tenggelam. Anak itu sedang mengguncang kasur dengan yel-yel dan lompatanya. “Yang mau masuk SMP Aa, kenapa teteh yang gembira?” kucoba mengoreknya. Kami membiasakan untuk memanggil anak-anak dengan posisi mereka, menyebut Aa untuk kakak laki-laki dan Teteh untuk kakak perempuan. Ya karena mereka masih punya saudara yang biasa kami panggil ade sesuai jabatannya sebagai anak terkecil. Aku mengangkat budaya suamiku yang orang Sunda. “Kan Aa bakal boarding, jadi aku bebas ga ada yang nakalin lagi, …” jawaban itu sudah kutebak. “Tapi umi yakin nanti teteh pasti kangen,…” kataku. “Ga akan,..!” jawabnya cepat. “Lihat saja nanti,…” kataku. “Kan masih ada ade.” Jawabnya lagi sambil terus membuat gempa di kasur. Oh, anak itu tak merasakan yang kurasa, ada gempa hebat mengguncang jiwa. Semakin dekat waktu semakin hebat guncangan itu. Aku tahu suatu saat kami memang akan berpisah, itu pasti. Tapi aku tak menyangka secepat ini. “Dia baru duabelas tahun, Bi dan sekarang dia meninggalkan umi. Melepaskan diri dari pengasuhan umi.” “Jadi maksudnya Umi belum puas ngurus ya? Tapi kan umi bisa nengok setiap hari.” Suamiku menghibur. “Aku tahu tapi dia baru duabelas Bi, masih terlalu kecil untuk lepas dariku, ibunya. Kenapa umi cuma dikasih kesempatan duabelas tahun bersama anak itu?” aku meradang, airmata menderas, ingin rasanya keluar dari mobil dan berlari ke pesantren. Akan kuambil kembali Fariz dan batalkan pesantren. “Sekolah biasa aja seperti yang lain Bi.” Aku tetap merajuk. “Kenapa Umi ini, bukankah kita sudah sepakat agar anak itu mandiri,..?” “Tapi dia masih terlalu kecil, Bi. Umi dulu berpisah dari orangtua setelah berumur tujuhbelas.” “Sudahlah Mi, teguhkan hati Umi biar anak kita juga jadi kuat. Kalau umi tidak tabah seperti itu, Fariz juga akan terganggu perasaannya. Jadi ngga betah, ngga konsentrasi belajar,…” “Bi, bukankah ini, saat ini adalah awal dari perpisahan berikutnya dan berikutnya lagi. Bukankah abi berencana mengirim anak itu ke pesantren lagi untuk tingkat SMA dan itu lebih jauh, terus lepas SMA abi juga berencana mengirimnya kuliah ke Kairo atau Madinah, berarti bakal sangat panjang waktu yang harus ditempuh anak itu menjalani hidup di luar sana, tanpa orangtua. Padahal umi masih hidup Bi, kenapa harus menyia-nyiakan anak itu agar hidup diluar rumah. Kita membuang kesempatan hidup bersama.” Airmata sungguh tak terbendung. Aku gagal mengubur sakit ini, rasanya seperti puluhan mata pisau menikam jantung. Handuk kecil kubolak balik, mencari bagian yang kering untuk menyusut banjir di pipi. Sementara kulihat tangan suamiku meraba tape, sejenak kemudian murotal mengalun syahdu. Sama sekali tak berkomentar pada rajukanku barusan. Mungkin dia sendiri galau, atau sengaja membiarkanku berpuas-puas dengan perasaan. Dia tak melarangku menangis atau menentang rajukanku. Sekarang aku merasa sebagai ibu yang malang karena hanya punya kesempatan selama duabelas tahun mengasuh anakku. Betapa singkat. Padahal aku ingin selamanya bersamanya, mengurus semua keperluannya. Karena ini tugasku sebagai ibunya, dan aku tak ingin berhenti dari tugas ini. Mobil berhenti, di tempat biasa untuk shalat dan sekedar mengikis penat. Karangkamulyan, tempat wisata Ciung Wanara. Kuseka airmataku cepat, namun lagi lagi aku tercenung ketika melihat anak-anakku turun dari mobil, kenapa cuma dua? Biasanya Fariz turun duluan dan minta es kelapa yang disajikan langsung dengan buah kelapanya. Sekarang anak itu tak ada. Waktu memang kejam. Rasanya baru kemarin aku bertaruh nyawa melahirkannya. Akupun kembali mengembara ke saat pertama kali bayi merah itu menyusu. Lidah bayinya yang tajam seperti mengelupasi kulit putingku, aku meringis dibuatnya bahkan menjerit saat hisapan pertamanya. Kelenjar susuku seperti tercerabut. Namun itu hanya beberapa hari, selanjutnya adalah nikmat yang hanya bisa dirasakan oleh ibu yang menyusui. Bayi merah itu Fariz yang sekarang dia tak turut bersamaku. Aku terduduk di teras masjid. Bayangan anakku terus berkelebat, berlarian diantara barisan angsana yang meliuk pilu. Oh kenapa pikiranku tak bisa lepas sedetikpun memikirkan anak itu. Dan kenapa yang sering muncul adalah saat dia kecil. Bahkan bayi. Aku ingat, aku begitu takjub bahwa dari dalam diriku, rahimku keluar makhluk hidup, dia yang bernama bayi dan bayi yang kulahirkan pertama itu bernama Fariz. Lalu akupun kembali dibuatnya takjub mengamati anak itu menyusu untuk pertamakalinya, mata beningnya menatapku untuk pertamakalinya, memandikannya di baskom untuk pertama kalinya, semua memori itu masih utuh. Tak ada yang terhapus. Tapi aku kehilangan peristiwa saat anak itu memakai seragam SMP untuk pertamakalinya. Ah, pasti kedodoran, sebagaimana saat dia pertamakali pakai seragam TK, lalu seragam SD dan setahun kemudian celana panjangnya sudah ngatung mendekati lutut. Mobil kembali meluncur melalui jalanan yang menjadi begitu panjang dan sepi. Alunan muratal membuat si kecil Fadil pulas dipangkuanku. Padahal biasanya anak ini bertahan sepanjang perjalanan karena keasyikan bercanda dengan kakaknya. Sekarang Fariz ga ikut, jadi si kecil Fadil ga ada kerjaan. Kuperhatikan pula Fina menatap jauh keluar jendela, diam. Padahal biasanya dia saling ledek dengan Fariz yang tak jarang berakhir dengan nangisnya Fina. Box perbekalan disebelahnya tak disentuhnya, padahal biasanya mereka berebut dan bersaing yang sering juga berakhir dengan nangisnya Fina. Dan biasanya aku ngomel. Makin ramailah suasana. Oh, mobil ini seperti kosong tanpa seorang anakku lagi. Perjalanan menjadi amat panjang dan sepi tanpa seorang anakku lagi. Begitu terasa kosong disetiap sudut. Jumlah baju, jumlah piring yang kucuci setiap harinya, berkurang satu. Saat menyiapkan perbekalan tadi pagi, aku terhenyak karena jumlah sikat gigi yang kupersiapkan kurang satu. Bukit bukit pakaian yang kubangun diatas kasur sebelum masuk travelbag juga kurang satu. Semua yang kusiapkan jadi lebih sedikit, terasa sekali ada yang hilang. “Rasane growong kok yo, growong banget,..” begitu kata almarhumah Emak mengungkapkan perasaannya saat aku meninggalkannya untuk kost begitu masuk sebuah SMK. Ya growong! Ungkapan yang tepat untuk situasi ini. Growong! Aku tiba-tiba ingat begitu saja istilah ini. Growong! Ini adalah ungkapan untuk menggambarkan kehilangan dan kesedihan yang sangat dalam. Ibarat koreng yang berlubang dan dalam, atau gunung yang terus dikeruk sehingga terdapat cekungan yang sangat dalam atau bahkan sampai menembus ke sisi lain. Itulah growong, luka yang sangat dalam dan menyakitkan. Astaghfirullah, aku anak durhaka. Aku pernah menilai Almarhumah Emak, sebagai ibu yang tidak tegar karena menangis saat melepasku. Sekarang aku mengalaminya, begini rasanya,…growong! Seperti malam itu, growong rasanya begitu menyadari tak ada Fariz di rumah. Susah payah aku mencoba untuk tidur. ”Umi semoga mimpi indah.” Putriku Fina mendekat dan berbisik. “Terimakasih, sayang.”jawabku sambil membalik badan kearahnya. Seketika terlintas bahwa suatu saat anak itupun akan meninggalkanku. Oh tidak, aku pasti merasakan lagi keperihan yang sama seperti ini. ‘Ya Allah’ kupeluk erat puteriku, kupateri janji di dada. Tak akan kusia-siakan masa-masa mengasuhmu dan adikmu, anak yang tersisa setelah kepergian kakak kalian. Aku baru memahami bahwa mengurus anak ternyata adalah episode terindah dalam hidupku. Dan ternyata masa indah ini punya batas seiring bertambahnya umur mereka, tak bisa kembali. “Umi pingin mimpi apa?”Tanyanya tiba-tiba. Kurasakan tangan kecilnya melingkari pinggangku. “Ingin mimpi ketemu Aa sayang,…”jawabku singkat. “Kalau teteh?” aku balik tanya. “Aku ingin mimpi menjadi kecil lagi,..” “Kenapa?” “Karena masih ada Aa,…” Ah terbukti sekarang kata-kataku, Fina yang pada awalnya mensyukuri kepergian kakaknya dan menyebutnya sebagai anak nakal pun kini merindukannya. Padahal baru beberapa hari. Kalau saja tak menyadari betapa mencari ilmu itu wajib bagi setiap mukmin, kalau saja tidak mengetahui bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, dan kalau saja belum kumengerti betapa penting ilmu untuk bekal anakku di masa depan, rasanya ingin kubatalkan saja mesantrenin anak. Biar dia tetap bersamaku untuk waktu yang lama, bahkan kalau bisa selamanya,… dan tak ada perpisahan. Anakmu bukanlah milikmu Mereka adalah putra putri sang Hidup Yang rindu akan dirinya sendiri Mereka lahir lewat engkau Tetapi bukan dari engkau Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu Berikanlah mereka kasih sayangmu Namun jangan sodorkan pemikiranmu Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri Patut kau berikan rumah bagi raganya Namun tidak bagi jiwanya,….. ……………………………………………….. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan …………………………………………………………. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur ‘Kahlil Gibran’ Astaghfirullah, aku tak boleh egois. Bukankah para ulama besar terlahir dari pengorbanan para ibu yang merelakan mereka mengejar ilmu ke segala penjuru sejak usia belia. Imam Syafi’I misalnya, beliau mengembara ke Mekah, Madinah, Yaman, Irak dan banyak tempat untuk mencari ilmu, dan itu dimulai sejak beliau belum baligh. Ya Allah, kuserahkan anakku pada penjagaanMu, wahai Zat Yang Maha Menjaga, Zat Yang Maha Hidup, Yang Tak Pernah Tidur. Spontan aku putar leher ke belakang. Menara masjid sudah lama menghilang dari pandangan tapi rasanya ingin kulihat lagi. Karena disana ada anakku, yang mungkin tadi memandangi punggungku saat kutinggalkan. Yang mungkin saat ini sedang termenung di kamarnya menyadari kesendirian. “Ya Rabb teguhkan hati kami” ……….Man Jadda Wa Jadda……………. Rabu, 1 agustus 2012 Tiara Fairuz

Senin, 25 Juli 2011

Jarak bumi dengan Arsy


Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at[1189]. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu[1190] (Q.S 32 : 4-5)

Mengungkap kebesaran Alloh mari kita sedikit menggunakan akal dan pengetahuan kita..
Bila kita bertanya berapa jarak bumi dengan Arsy ? Bisa kita hitung seperti ini :

Rumus sederhana L = V.T , dimana L = Jarak, V = Kecepatan dan T = Waktu.
Dari ayat di atas kita tahu lamanya urusan naik kepada Alloh adalah 1000 tahun atau (1000 x 365,25 x 24 x 360)detik.
Bila yang melaporkan adalah para malaikat yang diciptakan Alloh dari cahaya maka dapat kita tetukan kecepatan sama dengan kecepatan cahaya, yaitu 299.792.458 meter per detik (m/s).

Dengan demikian jarak bumi dengan Arsy adalah :
(299.792.458 x 3.155.760) meter = 946.073.047.258.080 meter ..Subhanalloh........

Wallohu'alam

Sabtu, 23 Juli 2011

jiwa yang tenang

Meluangkan waktu untuk merenungi arti makna hidup seperti memutar stir kendaraan agar kendaraan tetap pada arah yang semestinya dituju. Seringkali hiruk pikuknya kehidupan dan banyaknya aktivitas duniawi membuat kita disorientasi dari hakikat tujuan hidup. Berlalunya waktu semakin tidak dirasakan seolah-olah itu sesuatu yang sangat biasa dan sepertinya sangat yakin hari esok masih ada. Sungguh dunia ini sangat menguras tenaga dan melelahkan sekaligus dapat melalaikan.
Kembali kepada hakikat hidup berarti kembali pada maksud dari kita di dunia ini yaitu berbekal untuk hidup yang sesungguhnya. Maka hanya jiwa-jiwa yang tenang yang akan menjadi pemenangnya kelak yang mereka gembira ketika kembali kepada Tuhannya dengan bekal amal soleh yang banyak yang menghapus seluruh dosa dan kesalahannya dalam kehidupan.

Selasa, 05 Juli 2011

bedanya betul dan benar

suatu hari saya mengirim sms kepada sahabat :
"apa bedanya betul dan benar..."
sahabatku menjawab :
"kalo betul lebih bersifat duniawi...sedangkan benar lebih ke arah ukhrowi.."
saya jawab lagi sms nya untuk menanggapi :
"menurut saya betul itu bersifat relatif..sedangkan benar itu pasti..coba kita beri masing-masing dengan imbuhan ke.....an."
sahabat saya kemudian membalasnya lagi :
"ya..itu sih tergantung dari sudut mana kita memandangnya..."
terlepas dari beda sudut pandang...saya mengirim lagi sms kepadanya :
"pada hakikatnya di dunia ini kebetulan itu tidak ada, karena setiap kebetulan pasti adalah rencanaNya. dan setiap kehendaknya adalah kebenaran. seperti rizqi kita. Setiap makhluq sudah ditentukan rizqinya di dunia ini tinggal kita yang berikhtiar sebagai sunatullahnya. Maka janganlah takut menikah hanya karena masalah rizqi..janganlah takut punya anak hanya karena masalah rizqi...janganlah takut bersodaqoh hanya karena rizqi yang sedikit..sesungguhnya Alloh Maha pemberi rizqi. Bila kita yakin maka Alloh akan memberi kita rizqi dari jalan yang tidak disangka-sangka.." Wallohu'alam..

Selasa, 28 Juni 2011

Anak bertanya....Bapak menjawab...

A : Bapak..apakah arti ulang tahun itu ?
B : Engkau bertambah usia padahal jatah hidupmu berkurang..
A : Bapak apakah arti belajar itu ?
B : Engkau berusaha memahami sesuatu yang tidak engkau tahu hingga mencapai hakikat dari apa yang kamu tahu.
A : Bapak apakah artinya berbakti itu ?
B : Engkau tidak mendurhakai orangtuamu dan yang menciptakanmu..
A : Bapak..apakah arti diriku bagimu?
B : Engkau adalah ladang amal bagi kedua orangtuamu...merawat, mendidik, dan menikahkanmu saat engkau telah dewasa. Dan aku berharap amalku diterima Alloh SWT.

Jumat, 11 Maret 2011

Jepang dilanda Tsunami

Allohu Akbar...
Kuasa Mu Kau perlihatkan kembali di Jepang, Semoga manusia semakin sadar kalo hidupnya di dunia hanyalah digerakan oleh Nya. Inilah bukti kekuasaan Nya. Tak ada teknologi yang mampu menghalangi amukan alam yang semua ada dalam genggamannya....Tadzkiroh bagi orang2 yang beriman.http://video.vivanews.com/read/13332-detik-detik-tsunami-menerjang-pesisir-jepang_1

Kamis, 16 Desember 2010

Gooooaaallllll.................

Ekspresi gegap gempita sebagian besar penonton yang ada di stadion Gelora Bung Karno Kamis malam 17 Desember 2010 seiring kemenangan tim kesayangannya "Garuda di dadaku" yang berhasil merobek gawang timnas philipine 1-0. Gonzalez sang algojo yang berhasil menyundul bola ke gawang lawan sontak menjadi pusat perhatian dan perbincangan...
Goal satu-satunya ini menutup kemenangan timnas Indonesia atas timnas Philipina dalam laga semi pinal piala AFF2010